Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

(Enam) Besar Terbaik Nasional, “Anya, Menulislah Impianmu!”

    Wow 6 (Enam) Besar Terbaik Nasional, “Anya, Menulislah Impianmu!”

    Oleh M. I

    Alhaya Danyah Putri Ilham di sapa Anya, siswi SMP Negeri 3 Majene, Sulawesi Barat, tersenyum semringah ketika panitia Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional (FLS3N) 2025 mengumumkan namanya masuk enam besar lomba bergengsi itu. Seketika ia terlonjak, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, sambil menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tak beraturan.
    Meski berada di posisi Juara Harapan 1 (Satu) dari 10 besar finalis FLS3N kategori Menulis Cerita jenjang SMP, Anya —demikian ia akrab disapa—tetap mengucap syukur dan Alhamdulillah. dibalik Jauh di deretan kursi belakang, duduk serta guru pendampingnya, Salmiati, S.Pd, M.Pd. Di antara lebih seribu penonton di Hall Hotel Novotel Manggadua, Jakarta, di panggung megah FLS3N yang semarak dan penuh gegap gempita.
    Wow 6 (Enam) Besar Terbaik Nasional, “Anya, Menulislah Impianmu!”

    Dari dibalik saya menonton live streaming youtube milik puspresnas, melihat secara langsung Ananda Anya berjalan segera bergegas melangkah ke atas panggung, dan sambal menyalami pejabat yang mewakili panitia saat menerima penghargaan dan hadiah. Bersama para juara harapan cabang lomba lainnya, Anya berfoto di deretan barisan jenjang SMP/MTs, kemudian turun kembali menuju kemali tempat kursinya. 

    Tepuk tangan riuh bergema ke seluruh ruangan. Kebahagiaan terpancar dari wajah guru pendampingnya, saya dan sekeluarga hanya melihat dan menyaksikan di saluran youtube.

    Anya mampu menunjukkan segala potensi kemampuan terbaik di ranah kepenulisan fiksi, meskipun harus berpuas di posisi enam besar finalis. Ananda pulang tidak menundukkan wajah, melainkan menegakkan kepala sebagai salah satu peserta pemenang nasional FLS3N 2025. guru pendampingnya juga menyatakan bangga, salut perjuangan meski Ananda Anya berada di posisi itu. 

    Anya telah bersungguh-sungguh berkarya. Pada titik itu ia membuktikan bahwa ketekunan membaca, menulis, dan riset membawanya terbang dari kota kecil Majene sebagai ikon kota layanan Pendidikan, ke jantung ibu kota negara; Jakarta. Karyanya menjadi sayap yang mengantarkannya ke puncak.

    Bagi saya, proses luarbiasa menulis Anya sungguh mengagumkan dan keren. Meski bukan juara pertama, Ananda telah membuktikan kemampuannya dan secara langsung menjadi inspirasi bagi teman-temannya di sekolah untuk mencintai literasi di tengah gempuran badai disrupsi digital. Saya membayangkan, jika ia konsisten menulis, Ananda bisa menjadi salah satu penulis andal masa depan Indonesia.

    Kisah history Anya adalah bukti sederhana dari pepatah lama: proses tidak akan mengkhianati hasil. Perjalanan sampai ke panggung nasional itu tidak terjadi dalam semalam atau karena keberuntungan semata. Ananda bermula dari seleksi internal sekolah yang dimulai dengan praktik menulis cerpen untuk seluruh siswa. 

    Naskah-naskah dikurasi dan ditelaah, kemudian terpilih naskah terbaik yang kemudian diadakan secara mandiri tiap pekan; siswa membaca, menulis, berdiskusi, mengedit, dan melatih keberanian mempresentasikan karyanya. 

    Di tingkat Kabupaten, Anya meraih juara pertama di Bulan Mei. Pekan setelahnya Ananda berlatih lagi: membaca cerpen dan menulis cerpen menjadi rutinitasnya. Seleksi provinsi pun dilewati dengan hasil gemilang: juara pertama lagi. 

    Setelah itu, Anandamelangkah ke babak semifinal nasional. Menjelang lomba nasional, Anya membaca lebih intens, menulis lebih sering, dan kembali memperbaiki naskahnya. 

    Begitu terus, hingga keberuntungan—jika boleh disebut demikian—berpihak pada kerja keras yang konsisten. Ananda masuk 10 besar nasional, lalu enam besar. Itu buah dari proses yang terus dirawat, bukan semata keberuntungan.

    Dari pengalaman ini ada beberapa pelajaran yang menarik dari Anya. Pertama, proses yang berkelanjutan—meski tampak kecil dan berulang—menghasilkan kematangan. Latihan menulis setiap hari, membaca dengan konsentrasi, dan menelaah naskah sendiri serta menerima kritik adalah pekerjaan yang lama-lama menampakkan hasil. 

    Kedua, dukungan lingkungan pendidikan—kepala sekolah, guru, orang tua—memegang peran penting. Tanpa bimbingan di workshop, tanpa rekomendasi sekolah, tanpa pendampingan, tanpa dukungan Dinas Pendidikan bahkan beberapa anggota dewan, bakat Anya mungkin tak sampai ke level ini. 

    Ketiga, capaian bukan akhir, melainkan batu loncatan. Enam besar hari ini adalah titik untuk tujuan yang lebih besar esok hari—sebab usia perjuangan Anya masih panjang.

    Merayakan keberhasilan kecil seperti pulang membawa sertifikat harus disyukuri. Enam besar nasional adalah kebanggaan yang layak dirayakan oleh Anya, sekolah, keluarganya, juga kota di mana Ananda berdomisili. Syukur itu bukan sekadar eksistensi, tetapi penghargaan terhadap proses panjang yang ditempuh. 

    Namun, perayaan harus diikuti dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas karya. Setelah ini, masihkah Anya mau menulis? Waktu akan membuktikannya. 

    Saya berharap Anya tidak berhenti di titik ini. Sekolah, khususnya SMP Negeri 3 Majene, perlu menjadikan Anya sebagai duta literasi—bukan hanya simbol semata, tetapi agen perubahan yang aktif. Bentuk konkret yang bisa dilakukan antara lain: mengaktifkan sanggar sastra sebagai kegiatan ekstrakurikuler resmi, menempatkannya sejajar dengan ekskul lain, membekali alumni dan pemenang lomba untuk membina pelajar yang lain, serta mengadakan kegiatan membaca, menulis, bedah karya, dan hingga memungkinkan sampai ke tahap penerbitan karya, baik di media massa maupun berbentuk buku. Dengan demikian, perhatian terhadap menulis tidak lagi bersifat ‘ad hoc’, melainkan sistemik.

    Sanggar sastra yang terorganisir memberi ruang bagi bakat serupa Anya untuk tumbuh. di sana, siswa dapat belajar teknik menulis, berdiskusi tentang gagasan, dan mengalami koreksi yang membentuk kualitas. 
    Wow 6 (Enam) Besar Terbaik Nasional, “Anya, Menulislah Impianmu!”
    Guru-guru yang kompeten dan alumni yang berpengalaman bisa menjadi mentor—tidak harus selalu mengundang praktisi. Kepala sekolah dan komite sekolah perlu memastikan anggaran, waktu, dan dukungan moral tersedia. 

    Jika Anya diberi peran sebagai duta literasi—misalnya membimbing junior, mengisi workshop, atau mewakili sekolah dalam kegiatan literasi—maka semangatnya dapat menular dan menjadi tradisi baru di sekolah.

    Proses tidak akan mengkhianati hasil—itulah pesan yang ingin saya tegaskan melalui kisah Anya. Proses yang sabar, berulang, dan dilandasi kebiasaan membaca serta menulis adalah modal utama. 

    Capaian nasional adalah hadiah sementara. Yang lebih penting adalah bagaimana capaian itu dipakai untuk membangun kultur literasi di lingkungan yang lebih luas. 

    Semoga Anya terus produktif, tetap rendah hati, dan konsisten menulis. 

    Semoga SMP Negeri 3 Majene mampu menempatkan kegiatan literasi sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan formal, sehingga kelak bukan hanya satu Anya yang mampu terbang, tetapi banyak siswa lain yang menemukan sayapnya melalui kata-kata. Dan, itu tidak mustahil

    Related Posts

    Post a Comment for "(Enam) Besar Terbaik Nasional, “Anya, Menulislah Impianmu!”"