Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

#1 Ringkasan Modul 1 - (PARADIGMA & VISI GURU PENGGERAK) Program Pendidikan Guru Penggerak

    Guru Penggerak merupakan episode kelima dari rangkaian kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan dijalankan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK).

    #1 Ringkasan Modul 1 - (PARADIGMA & VISI  GURU PENGGERAK) Program Pendidikan Guru Penggerak

    Program Guru Penggerak ini bertujuan untuk menyiapkan para pemimpin pendidikan Indonesia masa depan, mampu mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif dan proaktif dalam mengembangkan guru di sekitarnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila.

    Untuk mendukung tercapainya tujuan itu, Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP) dijalankan dengan menekankan pada kompetensi kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership) yang mencakup komunitas praktik, pembelajaran sosial dan emosional, pembelajaran berdiferensiasi yang sesuai perkembangan murid, dan kompetensi lain dalam pengembangan diri dan sekolah.

    Kompetensi tersebut dituangkan ke dalam tiga paket modul, yaitu paradigma dan visi Guru Penggerak, praktik pembelajaran yang berpihak pada murid, dan pemimpin pembelajaran dalam pengembangan sekolah. Selanjutnya, ketiga paket modul tersebut diperinci menjadi 10 bagian, termasuk modul yang Anda baca sekarang. Program pendidikan ini dijalankan selama sembilan (9) bulan yang terdiri dari kelas pelatihan daring, lokakarya, dan pendampingan.

    Proses pendidikan ini mengedepankan coaching dan on-the-job training, yang artinya selama belajar, guru tetap menjalankan perannya di sekolah sekaligus menerapkan pengetahuan yang didapat dari ruang pelatihan ke dalam pembelajaran di kelas. Dengan demikian, kepala sekolah dan pengawas menjadi mitra seorang calon guru penggerak dalam mempersiapkan diri menjadi pemimpin.
    Alur MERRDEKA

    Di dalam proses pelaksanaan PPGP, Calon Guru Penggerak (CGP) akan sering diajak untuk merefleksikan praktik pembelajaran yang sudah dijalankan serta berdiskusi dan berkolaborasi dengan sesama CGP maupun komunitas di sekitarnya. Keseluruhan pengalaman belajar itu diramu dalam siklus MERRDEKA.

    Konsep MERRDEKA yang diawali dengan Mulai dari Diri, lalu dilanjutkan dengan Eksplorasi Konsep; Ruang Kolaborasi; Refleksi Terbimbing; Demonstrasi Kontekstual; Elaborasi Pemahaman; Koneksi Antarmateri; dan ditutup dengan Aksi Nyata. Diharapkan model pembelajaran yang berbasis pengalaman seperti ini dapat mewujudkan guru dan murid merdeka yang menjadi pembelajar sepanjang hayat.

    Guru sebagai pendidik pada jenjang satuan pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan peserta didik sehingga menjadi determinan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Pentingnya peran guru dalam pendidikan diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”


    Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan adanya pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagai aktualisasi dari profesi pendidik. Sudah sangat jelas fungsi guru dalam mengembangkan kemampuan peserta didik dalam meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonsia.

    Berdasarkan surat Nomor 3100/B2/GT.03.15/2021, 9 Juli 2021 perihal Pengumuman Hasil Seleksi Tahap 1 Calon Guru Penggerak Angkatan 4, penulis lolos seleksi tahap 1 yang meliputi penilaian CV, unggahan dokumen dan essai. Selanjutnya mengikuti tahap 2 yang meliputi simulasi mengajar dan wawancara. Berdasarkan surat Nomor 4877/B2/GT.03.15/2021, 29 September 2021, perihal Pengumuman Kelulusan Hasil Seleksi Tahap 2 Calon Guru Penggerak Angkatan 4, penulis lolos seleksi Calon Guru Penggerak Angkatan IV. Berdasarkan surat Nomor 2238/B6.4.3/PP.01.03/2021, 12 Oktober 2021 Program Pendidikan Calon Guru Penggerak Angkatan IV dimulai.

    Materi Modul 1 Program Pendidikan Calon Guru Penggerak berisi tentang 1.1 Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak, 1.3 Visi Guru Penggerak, dan 1.4 Budaya Positif. Seluruh materi disampaikan secara sistematis melalui LMS pada laman https://app-gurupenggerak.simpkb.id/home.

    Program Pendidikan Calon Guru Penggerak untuk Modul 1 dimulai sejak 12 Oktober 2021 sampai dengan 22 Desember 2021. Alur belajar yang digunakan untuk Memahami, menghayati, dan melaksanakan Modul 1 adalah alur MERRDEKA. Alur belajar MERRDEKA merupakan akronim dari; Mulai dari diri sendiri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Refleksi Terbimbing, Demonstrasi Kontekstual, Elaborasi Pemahaman, Aksi Nyata.

    Andri Nurcahyani, dkk (2021) menyimpulkan pendapat Diane Gossen, salah satu motivasi perilaku manusia adalah untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Berdasarkan motivasi ini dan dengan alur belajar MERRDEKA memahami, menghayati, melaksanakan materi Modul 1 di kelas dan sekolah untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila menjadi target dan impian.

    A. Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara

    1. Asas Pendidikan Ki Hajar Dewantara

    Bagi kita seorang pendidik, siapa yang tidak kenal dengan sosok Ki Hadjar Dewantara. Jasa beliau begitu besar bagi pendidikan di indonesia, dan bahkan pandangan-pandangan beliau telah menjadi Filosofi Pendidikan Nasional seperti yang kembali di gaungkan saat ini. Seperti apa Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, mari kita kupas bersama melalui Modul 1
    Asas Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalam memahami arti dan tujuan Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut Ki Hajar Dewantara (2009) dalam Simon P R (2021), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluasluasnya”.

    2. Dasar-dasar Pendidikan

    Menurut Simon P R (2021) dasar-dasar pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dalam proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Ki Hajar Dewantara juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. Ki Hajar Dewantara menggunakan “barang-barang” sebagai simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.

    1. Kodrat alam dan kodrat zaman

    Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama."

    2. Budi Pekerti

    Menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor).

    3. Montessori, Frobel dan Taman siswa

    Perbedaan Montessori, Frobel dan Taman Siswa adalah: a). Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan; b) Frobel juga menjadikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya, tetapi yang diutamakan adalah permainan anak-anak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga diwujudkan menjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah; c). Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran panca indra dan permainan akal itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu. Sebab, dalam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak.

    B. Nilai dan Peran Guru Penggerak

    1. Pembentukan Nilai Diri

    Lumpkin (2008) dalam Aditya Dharma dan Khristian Arimara (2021), menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru ini membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka mempercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid mereka. Berikut adalah gambar tentang proses perubahan perilaku:
    Pembentukan Nilai Diri

    2. Eskalator dan Cara Kerja Otak

    Paul D. MacLean, dalam Aditya Dharma dan Khristian Arimara (2021), seorang neuroscientist (ilmuwan otak) Amerika berteori bahwa otak manusia memiliki 3 lapisan yang disebut sebagai triune brain, yang membuat otak kita berfungsi berbeda dari organisme lainnya. Triune brain ini terdiri dari: a. Otak Mamalia/Limbik; untuk perasaan dan motivasi, b. Otak Reptil; untuk bertahan hidup, dan c. Otak Primata; untuk daya pikir/kecerdasan. Triune brain digambarkan sebagai berikut:

    Guru adalah manusia yang senantiasa berusaha untuk menggerakkan manusia lainnya. Oleh karena itu, guru harus lebih dulu sadar agar dirinya tergerak, kemudian memilih untuk bergerak dan akhirnya menggerakkan manusia yang lain.

    3. Profil Pelajar Pancasila

    Semangat Merdeka Belajar yang sedang dicanangkan ini juga memperkuat tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dimana Pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kedua semangat ini yang kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia. Pedoman tersebut adalah Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).

    Profil Pelajar Pancasila ini dicetuskan sebagai pedoman untuk pendidikan Indonesia. Tidak hanya untuk kebijakan pendidikan di tingkat nasional saja, akan tetapi diharapkan juga menjadi pegangan untuk para pendidik, dalam membangun karakter anak di ruang belajar yang lebih kecil. Pelajar Pancasila disini berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Pelajar yang memiliki profil ini adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya. Dimensi ini adalah: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Berkebinekaan global; 3) Bergotong-royong; 4) Kreatif 5) Bernalar kritis;. 6) Mandiri. Keenam dimensi ini perlu dilihat sebagai satu buah kesatuan yang tidak terpisahkan. Berikut gambar dari Profil Pelajar Pancasila:
    Profil Pelajar Pancasila

    Elemen kunci dari masing-masing profil adalah sebagai berikut:







    4. Peran Guru Penggerak

    Seorang Guru Penggerak diharapkan mempunyai 4 kompetensi yaitu: mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran, memimpin manajemen sekolah, serta memimpin pengembangan sekolah. Peran Guru Penggerak merupakan sebuah ringkasan dari kompetensi tersebut. Terdapat 5 butir peran dari seorang Guru Penggerak: 1) Menjadi Pemimpin Pembelajaran; 2) Menggerakkan Komunitas Praktisi; 3) Menjadi Coach Bagi Guru Lain; 4) Mendorong Kolaborasi Antar Guru; 5) Mewujudkan Kepemimpinan Murid.

    5. Nilai Guru Penggerak

    Menurut Rokeach (dalam Hari, Abdul H. 2015), nilai merupakan keyakinan sebagai standar yang mengarahkan perbuatan dan standar pengambilan keputusan terhadap objek atau situasi yang sifatnya sangat spesifik. Kehadiran nilai dalam diri seseorang dapat berfungsi sebagai standar bagi seseorang dalam mengambil posisi khusus dalam suatu masalah, sebagai bahan evaluasi dalam membuat keputusan, bahkan hingga berfungsi sebagai motivasi dalam mengarahkan tingkah laku individu dalam kehidupan sehari-hari.

    Nilai dari seorang Guru Penggerak adalah: 1) Mandiri; 2) Reflektif; 3) Kolaboratif; 4) Inovatif; 5) Berpihak pada murid. Nilai ini sendiri berkaitan erat dengan peran yang sudah kita pelajari di bagian sebelumnya. Nilai ini yang diharapkan terus tumbuh dan dilestarikan dalam diri seorang Guru Penggerak. Kelima nilai ini saling mendukung satu dengan lainnya, dan tentunya diharapkan menjadi pedoman berperilaku untuk seorang Guru Penggerak.

    C. Visi Guru Penggerak

    1. Visi: Mengelola Perubahan yang Positif.

    Menurut Evans (2001) dalam Aditya Dharma dan Ibrena Merry S P (2021), untuk memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Walaupun sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak mungkin. Untuk melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus naif tentang inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi. Hal ini berarti butuh partisipasi dari semua warga sekolah.

    Mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan, diperlukan sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. salah satu alternatif Pendekatan yang digunakan adalah INKUIRI APRESIATIF (IA) dengan BAGJA. Langkah-langkah BAGJA adalah; Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, dan Atur eksekusi. Berikut disajikan contoh tabel BAGJA:

    D. Budaya Positif

    1. Perubahan Paradigma

    Seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol. Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa, “..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”. Pandangan tentang dunia menurut teori stimulus respon dan teori kontrol disajikan pada tabel berikut:


    2. Konsep Disiplin Positif dan Motivasi

    Pemikiran Ki Hajar Dewantara sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

    Tiga motivasi perilaku manusia menurut Diane Gossen dalam buku Restructuring School Discipline adalah: 1) Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman; 2) Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain; 3) Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

    3. Keyakinan Kelas

    Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja? Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’. Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda adalah “untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.

    Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama.

    Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan.

    Pembentukan Keyakinan Kelas: 1) Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit; 2) Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal; 3) Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif; 4) Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas; 5) Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut; 6) Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat; 7) Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

    Contoh keyakinan kelas VII disajikan pada tabel 3 berikut:

    Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas, bila terdapat suatu pelanggaran, kita perlu meninjau ulang penerapan penegakan peraturan atau keyakinan kelas kita selama ini. Penerapan terhadap suatu pelanggaran bisa dalam bentuk hukuman atau sanksi, atau berupa Restitusi. Hukuman bersifat memaksa, sanksi/konsekuensi bersifat kesadaran diri didasari keikhlasan, restitusi menguatkan murid dalam jangka panjang. Berikut disajikan tabel 4 tentang perbedaan hukuman, sanksi dan restitusi.

    4. Pemenuhan Kebutuhan Dasar

    Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini. Berikut bagan kebutuhan dasar manusia:
    Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila jawaban Doni ketika ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar dan orangtuanya tidak membawakannya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan untuk bertahan hidup (survival).

    Cinta dan kasih sayang atau Kebutuhan untuk Diterima (Belonging). Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.

    Penguasaan atau Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan (Power). Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.

    Kebebasan ata Kebutuhan Akan Pilihan (Freedom). Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anakanak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik. Bila jawaban Doni dalam kasus diatas adalah bahwa dia merasa bosan dengan bekal makanan yang dibawakan ibunya dari rumah, karena ibunya selalu membawakan bekal yang sama, oleh karena itu dia ingin mencoba makanan teman-temannya yang beraneka ragam, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan kebebasan/freedom.

    Kesenangan atau Kebutuhan untuk merasa senang (Fun). Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat bertingkah laku buruk. Dalam kasus diatas, bila Doni menjawab bahwa ia melakukannya karena iseng saja dan ia menikmati ekspresi wajah teman-temannya yang kesal karena diambil makanannya dan menurut dia, ekspresi teman-temannya itu lucu. Maka berarti Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan kesenangan.

    5. Lima Posisi Kontrol

    Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer.

    a. Penghukum

    Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:

    “Patuhi aturan saya, atau awas!”

    “Kamu selalu saja salah!”

    “Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

    Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.

    b. Pembuat Orang Merasa Bersalah

    Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

    “Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

    “Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

    “Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

    Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

    c. Teman

    Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

    “Ayo bantulah, demi bapak ya?”

    “Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

    “Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

    Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.

    d. Monitor/Pemantau

    Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau: “Peraturannya apa?”

    “Apa yang telah kamu lakukan?”

    “Sanksi atau konsekuensinya apa?”

    Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.

    e. Manajer

    Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata:

    “Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

    “Apakah kamu meyakininya?”

    “Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”

    “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

    “Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

    Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

    6. Segitiga Restitusi

    Menurut Gossen (2004) dalam Andri Nurcahyani, dkk (2021) restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat. Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

    Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.

    Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,

    tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.

    Ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya adalah: 1) Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan; 2) Restitusi memperbaiki hubungan; 3) Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan; 4) Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri; 5) Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan; 6) Restitusi diri adalah cara yang paling baik; 7) Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan; 8) Restitusi menguatkan; 9) Restitusi fokus pada solusi, 10) Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya.

    Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu:

    Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol

    Berikut adalah gambar langkah-langkah dari segitiga restitusi:

    segitiga restitusi


    a. Menstabilkan Identitas/Stabilize the identity

    Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi proaktif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini: 1) Berbuat salah itu tidak apa-apa; 2) Tidak ada manusia yang sempurna; 3) Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu; 4) Kita bisa menyelesaikan ini; 5) Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini; 6) Kamu berhak merasa begitu; 7) Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?

    b. Validasi Tindakan yang Salah/ Validate the Misbehavior Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka. 1) “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”; 2) “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”; 3) “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”; 4) “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”

    c. Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga: 1) Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?; 2) Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?; 3) Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?; 4) Kamu mau jadi orang yang seperti apa?


    Daftar Pustaka:
    Aditya Dharma dan Ibrena Merry S P. 2021. Modul 1.3 Visi Guru Penggerak. Jakarta: Kemendikbudristek.

    Aditya Dharma dan Khristian Arimara. 2021. Modul 1.2 Nilai-nilai dan Peran Guru Penggerak. Jakarta: Kemendikbudristek.

    Andri Nurcahyani, dkk. 2021. Modul 1.4 Budaya Positif. Jakarta: Kemendikbudristek.

    Ridwan Abdullah Sani. 2015. Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

    Simon P R. 2021. Modul 1.1 Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Kemendikbudristek.

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


    Video Materi (Refleksi Filosofi Pendidikan KIi Hadjar Dewantara)
     
    Sumber Youtube: Channel Pendidikan Guru Penggerak

    Sumber Materi :
    • https://sites.google.com/view/portofolio-modul-1-saleha/kajian-pustaka?authuser=0
    • Modul 1 PGP

    📁Modul 1.1 Refleksi  Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara

    Setelah mempelajari modul ini,
    1. CGP mampu memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD).
    2. CGP mampu mengelola pembelajaran yang berpihak pada murid pada konteks lokal kelas dan sekolah.
    3. CGP mampu bersikap reektif-kritis dalam mengembangkan dan menerapkan pembelajaran yang mereeksikan dasar-dasar Pendidikan KHD dalam menuntun murid mencapai kekuatan kodratnya.
    Aksi nyata 
    Modul 1.1: CGP membuat perubahan konkret di kelas dan menuliskannya dalam jurnal reeksi secara rutin.

    📁 Modul 1.2 Nilai-nilai dan Peran Guru Penggerak

    Setelah mempelajari modul ini:
    1. CGP memahami bagaimana nilai diri bisa terbentuk dan merefleksikan pengaruhnya terhadap peran sebagai Guru Penggerak.
    2. CGP membuat gambaran diri di masa depan terkait dengan nilai-nilai dan peran seorang Guru Penggerak.
    3. CGP membuat kesimpulan berdasarkan pengalaman dan aksi yang bisa dilakukan untuk menguatkan peran dan nilai Guru Penggerak.
    Aksi Nyata Modul 1.2:
    1. CGP mampu menerapkan strategi untuk menguatkan nilai dan peran Guru Penggerak
    2. CGP terbiasa untuk merefleksikan hasil pembelajaran yang didapat selama rangkaian modul 1.2.

    Pendampingan Individu Perdana didampingi oleh Pengajar Praktik
    1. Diskusi tantangan belajar daring.
    2. Refleksi penerapan perubahan kelas sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Perubahan diri untuk penumbuhan murid merdeka.

    📁 Modul 1.3 Visi Guru Penggerak

    Setelah mempelajari modul ini:
    1. CGP mampu merumuskan visinya mengenai lingkungan belajar yang berpihak pada murid.
    2. CGP mampu mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki CGP dalam mendukung penumbuhan potensi murid.
    3. CGP mampu membuat rencana manajemen perubahan (menggunakan paradigma dan model inkuiri apresiatif) di tempat di mana mereka berkarya.
    4. CGP mampu menjalankan rencana manajemen perubahan (menggunakan paradigma dan model inkuiri apresiatif) di tempat di mana mereka berkarya.
    Aksi Nyata 1.3:
    CGP mengeksekusi rencana manajemen perubahan dengan menerapkan paradigma inkuiri apresiatif dan membuat dokumentasi pribadi untuk proses pendampingan individu oleh Pengajar Praktik.

    📁 Modul 1.4  Budaya Positif

    1. CGP mampu mendemonstrasikan pemahamannya mengenai konsep Budaya Positif yang di dalamnya terdapat konsep perubahan paradigma stimulus respons dan teori kontrol, 3 teori motivasi perilaku manusia, motivasi internal dan eksternal, keyakinan kelas, hukuman dan penghargaan, 5 kebutuhan dasar Manusia, 5 posisi kontrol guru dan segitiga restitusi.
    2. CGP mampu menerapkan strategi disiplin positif yang memerdekaan murid untuk menciptakan ekosistem sekolah aman dan berpihak pada anak.
    3. CGP mampu menyusun langkah-langkah dan strategi aksi nyata yang efektif dalam mewujudkan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan sekolah agar tercipta budaya positif yang dapat mengembangkan karakter murid.
    4. CGP mampu bersikap reflektif dan kritis terhadap budaya di sekolah dan senantiasa mengembangkannya sesuai kebutuhan sosial dan murid.
    Aksi Nyata 1.4:
    CGP menyampaikan kepada rekan-rekannya mengenai perubahan paradigma dan penerapan strategi disiplin positif di kelas/sekolahnya masing-masing untuk menciptakan budaya positif. Diharapkan kegiatan ini akan membantu murid dalam belajar dengan aman dan nyaman untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan sebagaimana disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara mengenai tujuan pendidikan.

    Pendampingan Individu 1 didampingi oleh Pengajar Praktik
    1. Refleksi dan diskusi hasil umpan balik rekan sejawat.
    2. Diskusi tantangan penerapan aksi nyata pada modul 1.1 dan 1.2.


    Sumber : Buku Modul PGP Kemdikbudristek

    Related Posts

    Post a Comment for "#1 Ringkasan Modul 1 - (PARADIGMA & VISI GURU PENGGERAK) Program Pendidikan Guru Penggerak"