Pappasang di Bawah Batu Tua. by Alhaya Danyah Putri Ilham

Langit Balanipa senja itu seperti kain sutra tua yang digulung ke arah barat, menyimpan kilau keemasan yang lelah. Angin laut berhembus lambat, membawa aroma asin dari laut, tanah basah dan bunga kelapa yang mekar lambat. Di ujung pantai yang nyaris sunyi, seorang pemuda berdiri tegak, seperti tonggak waktu yang menolak tumbang. Ia adalah Puang Rallang, anak nelayan dari kampung kecil Labuang, namun menyimpan dada yang luas seperti lautan yang menatapnya.
Orang-orang memanggilnya Allang, nama pendek yang diwariskan oleh kakeknya, anak adat yang dulu duduk bersila di atas rumah panggung bersama para tetua, menjaga api kecil dan kisah-kisah besar.
Bagi Allang, Labuang bukan hanya kampung. Ia adalah naskah hidup. Tiap pohon nyiur, tiap kerikil di jalan setapak, bahkan tiap kicau burung pipit di pagi hari, semua seperti menyimpan desah bisu dari masa silam.
Darah bangsawan mengalir pada tubuh Allang, bukan yang ditulis dalam surat tanah atau yang dicetak di batu nisan, tetapi yang bersemayam di dalam kisah-kisah besar yang hanya dibisikkan saat malam telah tiba. Kakeknya, Puang Marasa, adalah penasihat dengan Raja Todilaling, maraqdia pertama Balanipa, yang sejarahnya tergores di dalam Kitab Lontara yang ditulis dengan tinta pekat, di mana tak semua orang mampu membacanya.
Tentang Raja Todilaling-lah, Allang paling sering mendengar kisahnya, bukan dari buku, tetapi dari mulut para tetua yang suaranya seperti mengalun dari sela-sela waktu.
Namanya I Manyambungi, leluhur besar yang dikenang bukan hanya karena membangun, tetapi karena cara ia berpulang. Ajal datang menghampirinya bukan karena kekalahan, tetapi karena waktu memang telah habis padanya.
Sebagai bentuk kesetiaan, empat belas dayang-dayang istana, tujuh perempuan dan tujuh laki laki, mereka memilih untuk menyertai sang raja turun ke liang. Mereka menari pattuqdu dengan gerakan yang lambat namun pasti, seperti doa yang disulam dalam gerak.
Di sekeliling mereka, gendang adat bergema rendah, mengantar kesunyian menjadi sakral.
Itulah saat di mana langit dan bumi bersatu dalam duka yang agung.
Maka sejak saat itu, sang raja dikenal sebagai Todilaling.
Todilaling bukan hanya sebuah gelar. Ia adalah cara memimpin dalam cinta rakyatnya dan pulang dengan penuh kemuliaan.
Sebab di Mandar, yang paling agung bukan yang hidup dengan kekekalan, tetapi yang kembali ke tempat asal dengan acara yang paling mulia.
Namun, ada satu kalimat dari kakeknya, yang tak bisa Allang lupa.
“Andiangi paqda nasang, anaq. Diang duapa sambare pelliqa meqillong.”
“Tidak semuanya hilang, nak. Masih ada sebagian dari langkah ini yang masih memanggil.”
Sejak saat itu, Allang menyimpan tanda tanya pada dirinya.
“Apa yang memanggil?”
Maka malam itu, langit nyaris tanpa bintang. Laut tenang, tapi gelombangnya dalam. Allang berjalan meninggalkan rumah panggungnya, melewati kebun kelapa dan pematang yang biasa ia lalui saat menggembala sapi. Tujuannya adalah Buttu Karamaq, tempat yang diyakini masyarakat mandar sebagai tempat yang keramat. Katanya, ada goa di atas bukit tersebut yang menyimpan banyak rahasia.
Orang-orang mengatakan bahwa goa tersebut dijaga oleh penjaga warisan adat yang memberi batas antara yang dikenal dan dilupakan. Namun pada malam itu, Allang memutuskan untuk melangkah tanpa izin, didorong oleh panggilan yang lebih tua dari adat, dan suara yang berasal dari nadi sejarah, menuntunnya melewati ruang serta waktu yang tak biasa.
Langkahnya terhenti di mulut goa yang dipenuhi oleh belukar. Di sana, ukiran tua menghiasi dinding batu, seperti lambang kerajaan yang pernah ia lihat di dalam Kitab Lontara. Ia menyentuh ukiran tersebut seperti menyentuh wajah leluhurnya sendiri.
Penari pattuqdu berputar dalam lingkaran api, diiringi barisan penabuh gendang yang tak punya wajah. Tak ada suara, namun Allang seolah masih bisa merasakan getarannya.
Sebuah sandeq kecil terukir, melewati gelombang yang menjulang tinggi menyerupai sesosok wajah, mungkin itu adalah penjaga sasi, sosok atau kekuatan ghoib yang diyakini masyarakat mandar sebagai penjaga laut.
Terukir sosok tinggi dengan sorban runcing, wajahnya ditutupi oleh benang merah. Di tangannya terdapat daun yang tampak basah, Allang tahu itu adalah daun lattigi, daun khas Mandar.
Di bawahnya, terdapat potongan aksara tua, patah-patah namun masih terasa.
“Malaqbi adalah titah dari leluhur yang tak terucap. Ia tak terlihat namun mengikat. Ia berjalan tanpa memerlukan sorotan dan ia menjaga yang tak terlihat meski dunia ingin merenggutnya. Ia adalah cara kembali tanpa mengguncang dunia.”
Allang menelan air liur.
Seolah kata malaqbi yang dulu hanya ia dengar dari mulut para tetua, kini menjadi poros bagi langkah hidupnya.
Namun, ada satu ukiran di sampingnya yang menyita perhatian Allang.
“Iya melo korban, mambawa tajang andiang paita. Turunannapa manini namaita membali.”
“Yang rela menjadi korban, membawa cahaya yang tak tampak. Keturunannya yang akan menemukannya kembali.”
Allang berdiri kaku di ambang lorong goa. Bukan karena takut, tapi seolah ada sesuatu yang bergerak dalam dirinya, seperti kuda yang pulang ke kendang saat matahari mulai rebah.
Dari retekan dinding goa, muncul cahaya redup, bukan dari obor, tapi seperti ada seseorang yang memberikan izin kepada sesuatu untuk diingat kembali. Ia mengikuti cahaya tersebut, menuruni lorong yang sepi, dihimpit akar dan dipenuhi embun tua.
Allang menapaki jalan setapak yang dipenuhi sulur dan akar, seakan-akan alam turut bersekongkol, menyelubungi yang tersembunyi agar tak mudah dijamah oleh ingatan. Di ujung lorong, tampak sebuah peti, kayunya menghitam dimakan umur, namun di permukaannya masih terlihat ukiran lambang Kerajaan Balanipa.
Allang membuka peti tersebut. Aroma kayu tua dan kayu basah menyambut, di dalamnya terbentang selembar kain sureq maraqdia, motif lipa saqbe yang membalut tubuh sang raja saat malai lao dilitaq, atau berpulang ke tempat asal. Di sampingnya, tergeletak Kitab Lontara, lembarannya sudah rapuh, namun seolah masih menyimpan suara dari masa lampau.
Allang membuka lembar-lembar itu. Ia mulai membaca kisah Raja Todilaling.
Namun yang lebih dalam dari itu, adalah kisah mereka yang mengiku(nya.
Sappulo appe dayang, empat belas dayang-dayang istana, tujuh perempun dan tujuh lakilaki, mereka menari turun ke dalam liang, bukan karena suruhan, tetapi karena kese(aan.
Ikrar jiwa yang mengikat mereka pada nama sang raja, pada marwah kerajaan.
Mereka mengenakan lipa saqbe, berselimut aroma kayu gaharu, menari dalam formasi tari yang diwariskan oleh leluhur dengan langkah-langkah yang bukan hanya sekadar gerak. Setiap putaran, setiap ayunan tangan, merupakan bentuk penghormatan terakhir mereka kepada sang raja.
Akhirnya.. satu demi satu tubuh mereka tenggelam ke tanah.
Allang memejamkan mata. Ia tak hanya membaca kisah Raja Todilaling. Ia sedang menonton ulang sebuah tari kematian yang dikenang hingga saat ini.
Namun justru, terdapat kalimat yang tak bisa lepas dari mata Allang, kalimat akhir dari lembar itu.
“Raja Todilaling tak hanya pergi begitu saja, ia membawa cahaya yang tak tampak, di mana hanya keturunan sejati yang dapat menemukannya.”
Allang membaca kalimat itu berulang kali.
“Cahaya yang tak tampak? Apa maksudnya?”
Saat Allang merenung, terdengar sebuah suara lembut dari belakangnya.
“Apakah kamu mencari cahaya itu, Allang?” Allang menoleh, ia melihat lelaki tua dengan jubah adat, wajahnya dipenuhi oleh kerutan, namun matanya bersinar penuh kebijaksanaan.
“Kakek!” seru Allang, mengenali sosok yang telah lama tiada.
“Aku bukan kakekmu, Allang. Aku adalah roh leluhur yang menjaga warisan dan takdir Balanipa.”
Dengan lembut, roh leluhur tersebut menjelaskan bahwa cahaya yang dimaksud adalah warisan spiritual dan kebijaksaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
“Kamu adalah penerus yang dipilih untuk meneruskan cahaya itu.” Katanya.
“Namun, untuk melakukan itu, kamu harus memahami dan menghorma( adat, menjaga keseimbangan alam serta warisan leluhur.”
Allang mendengarkan dengan seksama. Ia meresapi setiap perkataan dari kakek itu. Ia merasa beban dan tanggung jawab yang besar, namun juga kebanggaan dan penghormatan.
“Aku siap, kakek.” dengan tegas.
“Aku akan meneruskan cahaya itu, menjaga warisan Balanipa.”
Mendengar perkataan Allang, roh leluhur tersenyum dan mengangguk.
“Ingat, Allang. Cahaya tak hanya ada di dalam Kitab Lontara dan goa ini. Cahaya itu ada pada dirimu, dalam setiap tindakanmu, dalam setiap keputusanmu, kamu harus menjaganya dengan bijaksana.”
Pada akhirnya, roh leluhur menghilang. Meninggalkan Allang dengan Kitab Lontara dan kain adat di tangannya. Ia tahu bahwa perjalanan barunya akan segera dimulai. Perjalanan untuk meneruskan cahaya, menjaga warisan Balanipa.
Sejak saat itu, Allang tak kembali sebagai orang yang sama.
Ia tidak bercerita tentang goa dan tidak mengangkat peti ke tengah lapangan. Ia hanya akan mulai duduk di bawah pohon, memanggil anak-anak untuk memulai ceritanya. Ia mulai membantu para sando untuk memperbaiki rumah adat.
Bertahun-tahun kemudian, Allang wafat di atas rumah panggung yang tak pernah ia kunci. Di sebelahnya, tergeletak Kitab Lontara yang sudah ia salin ulang dengan tangannya sendiri, dan kain adat yang sudah tak punya warna, namun seolah masih menyimpan nyawa.
Allang wafat di musim hujan, itulah saat di mana langit tak bisa membedakan antara tangis dan laut.
Di nisan kayunya, tertera ukiran kecil.
“Ia bukan cahaya, bukan pula bayangan. Ia adalah panopanganna mawaya, sandaran dari segala sesuatu yang menyala. Tanpa dia, cahaya hanya luka dan terang hanya akan hilang arah.”
Sejak hari itu, orang-orang memanggilnya to malaqbi.
Bukan karena meminta, tapi karena nyala memang akan tampak, walau tak ingin menampakan.
Bertahun-tahun setelahnya, ketika anak-anak mulai duduk bersila di bawah pohon, mereka akan mendengarkan kisah seseorang yang tak ingin disebut namanya, tentang seseorang yang menyalakan cahaya dalam diam.
Petualangan Allang disebut sebagai bab terakhir yang disangka final.
Tapi benarkah?
Sebab hingga kini, saat seorang anak berdiri sendiri di ujung tanjung, saat angin laut membelah dada dan langit yang menundukkan wajahnya, mereka akan tahu bahwa hal tersebut bukan hanya sekadar semilir angin, melainkan hembusan tua dari pappasang yang belum selesai dibisikkan.
Mungkin itu panggilan dari batu tua, atau jejak langkah dari dayang-dayang Kerajaan Balanipa, dengan tubuh sebagai sesaji dan jiwa sebagai penjaga marwah. Sebab nyala yang dulu dinyalakan oleh tangan yang tak meminta nama, masih tersembunyi di balik urat darah mereka.
Pappasang : Petuah atau Nasihat.
Todilaling : Orang yang diangkut ke dalam liang.
Kitab Lontara : Tulisan tradisional yang digunakan masyarakat Mandar.
Malaqbi : Nilai luhur yang mencerminkan kemuliaan.
Perahu Sandeq: Perahu khas Mandar yang ramping dan cepat.
Tari Pattuqdu : Tarian khas Mandar yang dibawakan dengan lembut dan anggun.
Daun Lattigi : Daun lattigi atau daun pacar digunakan masyarakat Mandar untuk memberi warna pada kuku dan jari.
Lipa Saqbe : Sarung sutra Mandar.
Sure Maraqdia : Motif atau corak sarung sutra Mandar yang banyak digunakan pada masa kerajaan zaman dulu. Kayu Gaharu : Kayu ini banyak digunakan dalam upacara adat, karena aromanya yang khas
Post a Comment for "Pappasang di Bawah Batu Tua. by Alhaya Danyah Putri Ilham "
Terimakasih. saran dan kritik. salam LED Sulbar
Post a Comment